Kampung Bena, Perkampungan Warisan Budaya Megalitikum di Flores

 
Sumber Foto: backpackerjakarta.com via tribunnewswiki.com

INDEPHEDIA.com - Kampung Bena salah satu perkampungan megalitikum yang terletak di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Kampung yang pada tahun 1995 dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO ini masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada.

Akses menuju Kampung Bena dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan dengan jarak tempuh sekitar 19 kilometer ke arah selatan dari Bajawa.

Terletak di Puncak Bukit 

Melansir sejumlah sumber, Kampung Bena terletak di puncak bukit dengan latar belakang Gunung Inerie, gunung terbesar di Pulau Flores. 

Letak kampung yang berada di bawah gunung menjadi ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa. 

Penduduk kampung ini meyakini keberadaan Yeta, dewa yang bersinggasana di gunung tersebut yang melindungi kampung mereka. 

Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini, yaitu klan Bena. Seiring perkembangan, klan di kampung tersebut bertambah.

Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. 

Hal ini bisa terjadi karena penduduk Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat, yakni keturunan yang berasal dari ibu. 

Dihuni Sembilan Suku

Saat ini, di Kampung Bena sudah ada kurang lebih 45 bangunan rumah yang saling mengelilingi dengan 9 suku yang menghuni rumah-rumah tersebut.

Ke sembilan suku yang menghuni rumah-rumah itu, yakni Suku Dizi, Suku Dizi Azi, Suku Wahto, Suku Deru Lalulewa, Suku Deru Solamae, Suku Ngada, Suku Khopa dan Suku Ago. 

Pembeda antara satu suku dengan suku lainnya adanya tingkatan sebanyak 9 buah dan setiap satu suku berada dalam satu tingkat ketinggian. 

Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sedangkan, ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.

Di tengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang oleh mereka disebut bhaga dan ngadhu. 

Bangunan bhaga merupakan bangunan tanpa penghuni yang bentuknya mirip pondok kecil. Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. 

Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras, sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban saat pesta adat berlangsung. (*)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top