Sumber Foto: Wikimedia Commons |
INDEPHEDIA.com - F.G. Steck (Kapten Infanteri) adalah orang Belanda yang mencatat situasi masyarakat hingga lingkungan alam di wilayah Lampung.
Laporan yang dibuatnya ini untuk kepentingan Infranteri KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) atau secara harafiah Tentara Kerajaan Hindia Belanda--- dekade pertama abad ke 19 Masehi.
Dalam “Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië “ deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G. Kolff, 1862, F.G. Steck mencatatkan banyak hal tentang kehidupan dan alam di Lampung kala itu.
Menurut dia, Lampung tempo dulu terkenal dengan hutan dengan kayu-kayunya yang berkualitas, terutama di daerah Tulang Bawang.
Daerah ini, dalam laporannya, banyak tumbuh pohon-pohon kayu yang bagus dan mutunya tinggi. Sungai di daerah ini memudahkan pengangkutan kayu-kayu tersebut.
Bahkan, ia juga menggambarkan keadaan di Tulang Bawang yang dikenalnya sebagai salah satu pelabuhan dan pusat perdagangan di Lampung.
Saat itu, orang Lampung menanam padi, lada dan kapas. Para petani di daerah pantai menanam padi di sawah. Memang sawah hanya ada di daerah pantai.
Sungai-sungai yang dalam dengan tebing-tebing terjal di kiri-kanan alirannya di daerah perdalaman Lampung sulit diandalkan untuk pengairan sawah. Orang Lampung menanam padi di ladang-ladang yang kering.
Sebelum dapat berladang, petani Lampung harus membuka lahan lebih dahulu. Kayu-kayu dari semak dan perdu dipotong; pohon-pohon besar ditebang. Lalu, semuanya dibiarkan mengering, kemudian dibakar.
Biasanya, tahun pertama para petani menanam jagung, kacang-kacangan dan palawija lainnya. Padi baru ditanam tahun kedua, diselingi dengan jagung dan kacang-kacangan.
Di daerah yang lebih tinggi, kapas menjadi tanaman selingan. Bila tanah di lahan itu subur, tahun ketiga padi ditanam lagi dan tahun keempat baru kapas.
Setelah kesuburan lahan berkurang, sang petani akan pindah ke lahan baru. Inilah yang membuat orang Lampung hidup berpindah-pindah.
Terkadang, ladang di daerah yang tidak subur —seperti di tengah-tengah daerah Sapoedi— harus dibiarkan menjadi hutan kembali sebelum dapat digarap lagi. Hal itu memerlukan waktu sampai 30 atau 40 tahun.
Sistem pertanian dengan ladang berpindah ini barangkali aneh sekali di mata orang Belanda yang hidup di negeri kecil.
Di Belanda, para petani mengolah lahan pertaniannya dengan intensif. Mereka terpaksa mengembangkan teknik dan strategi pengolahan tanah agar lahannya selalu panen baik.
Kalaupun mau, bagi petani Belanda, tidak terbuka kemungkinan untuk menerapkan sistem peladangan berpindah.
Padi yang ditanam di ladang-ladang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lada, yang dulu merupakan sumber kekayaan ketika Kesultanan Banten berkuasa di daerah ini, sudah tidak banyak lagi.
Beberapa tahun sebelum Steck membuat tulisannya, banyak orang mulai kembali menanam lada.Di samping itu, di Lampung semakin banyak pula orang menanam kopi.
Hal ini bahkan dilakukan spontan oleh penduduk Lampung tanpa dorongan dari pemerintah Hindia Belanda. Pohon-pohon kopi ditanam sebagai pagar yang membatasi kebun-kebun lada.
Di berbagai tempat, banyak orang memelihara ulat sutra. Akan tetapi, ulat-ulat tersebut rupanya hanya mampu menghasilkan kepompong kecil. Serat sutra dari kepompong-kepompong itu bukanlah dari kualitas yang terbaik.
Namun, walaupun tidak menjadi komoditas ekspor, sutra dari Lampung diolah, dicat dan ditenun menjadi sarung dan selendang.
Selain kerbau, yang memang banyak jumlahnya di Lampung, tidak banyak ternak dipelihara. Ternak lainnya, seperti kambing dan domba didatangkan dari Pulau Jawa.
Tidak ada sapi di Lampung. Konon, sapi di Lampung tidak mau berkembang biak. Kuda pun tidak banyak. Kuda yang ada dimiliki para pegawai pemerintah Hindia Belanda dan perwira-perwira militernya.
Kuda-kuda didatangkan dari luar Lampung dan setelah tuannya pulang ke negeri Belanda atau pindah kembali ke Pulau Jawa, binatang-binatang itu ditinggalkan di Lampung.
Perdagangan dan pelayaran makin meningkat. Komoditas yang banyak diperdagangkan keluar Lampung adalah lada dan hasil hutan, terutama karet, damar, rotan, lilin lebah, gading, kapas dan kopi.
Komoditas yang didatangkan ke Lampung, antara lain beras, garam, barang dan peralatan dari besi, gerabah, porselen serta tekstil.
Walaupun ada kemajuan dalam bidang pelayaran, bagi orang Lampung sendiri tidak berarti banyak. Karena kegiatan itu hampir sepenuhnya dilakukan orang-orang dari luar Lampung. Tidak mengherankan karena orang Lampung bukanlah bangsa pelaut.
Pasar dan pusat-pusat perdagangan utama terdapat di Telok Betong dan Paloeboe, yang lebih dikenal dengan nama Sekeppel di Teluk Lampung.
Kemudian, Bornei, Napal, dan Sepoeti di Teluk Samaka; Assahan di Sekampong; Eanto Djaija di Pagadoengan; Seringkebow di Sepoetie; dan Mengala di Toelang Bawang.
Di Seringkebow seorang demang diangkat, khusus untuk memperhatikan kepentingan pemerintah Hindia Belanda dan pedagang-pedagang asing.
Di Asahan, yang dulunya merupakan pusat perdagangan penting, terdapat seorang syahbandar yang bertugas mengawasi perdagangan (dan pelayaran) di daerah itu.
Dahulu kala, syahbandar diangkat sultan Banten. Waktu itu, seorang syahbandar sangat berkuasa dan berpengaruh di daerahnya. Kini gelar dan jabatan tersebut tidak lagi bermakna banyak.
Di Sungai Oempoe di dekat Boemi Ratoe ada emas. Logam mulia itu ditambang oleh penduduk setempat. Tidak banyak jumlahnya dan kualitasnya pun tidak istimewa. Emas itu adalah emas muda.
Kekayaan Lampung bukan berupa emas dan berlian yang terkubur di relung bumi. Kekayaannya, belantara yang menghijau di permukaan buminya.
Lampung memiliki banyak kayu yang bagus dan bermutu tinggi. Paling terkenal kayu dari daerah Toelang Bawang dan Sepoetie.
Sungai-sungai besar yang mengalir di kedua daerah itu memudahkan pengangkutan kayu-kayu itu.
Di daerah Asahan di sekitar Sekampong, banyak tumbuh pohon jati. Sayangnya, pohon-pohon berkayu mahal itu agak terlantar.
Jalan-jalan setapak yang ada di dalam belantara kerap bercabang ke kiri dan kanan. Bila ditelusuri, jalan-jalan itu biasanya berakhir di sebuah pohon karet atau pohon medang atau berujung di rawa-rawa yang terbentang luas atau menghilang ke dalam sebuah sungai.
Jalan-jalan itu, yang lebih kecil lagi dari jalan setapak adalah jalan yang dibuat para peramu hasil hutan.
Orang yang hendak mencari karet, rotan, lilin lebah dan madu memang terpaksa mblusuk sampai ke relung hutan.
Ada kalanya, orang membuka jalan di hutan untuk memudahkan membawa batang-batang kayu dan rotan ke sungai. Transportasi melalui air jauh lebih mudah dilakukan.
Dalam dunia binatang, gajah dan badak barangkali dapat dianggap sebagai pegawai-pegawai Departemen Pekerjaan Umum.
Binatang-binatang ini biasanya memilih untuk selalu melintas hutan di jalan yang sama. Ukuran tubuhnya yang besar dengan sendirinya menumbangkan pohon dan perdu di pinggir-pinggir jalan yang mereka lalui.
Manusia yang menelusuri jalan itu akan mudah mengenali jejak-jejak kawanan gajah atau badak yang membukanya.
Akan tetapi, yang tidak terbiasa berjalan di hutan masih akan kebingungan mencari jalan tanpa bantuan seorang pemandu.
Tanpa bantuan pemandu, Infanteri Belanda takkan mungkin dapat menemukan jalan. Peneliti kontemporer pun akan tersesat tanpa pemandu jalan.
Pada perempat akhir abad ke 19 Masehi, Lampung terbagi ke dalam lima distrik, yaitu Telok Betong, Sekampong, Sepoetie, Toelang Bawang dan Samangka.
Kelima distrik ini mempunyai batas-batas yang jelas kecuali Telok Betong. Telok Betong, dipimpin seorang regent yang tinggal di Telok Betong.
Sungai-sungai menjadi batas alam Telok Betong dengan daerah-daerah Samangka dan Sekampong.
Pulau Lagundi, Seboekoe, Sebessie, dan Krakatou di Selat Sunda serta pulau-pulau yang terdapat di Teluk Lampung termasuk juga di dalam Distrik Telok Betong.
Sekampong berbatasan dengan Samangka, Telok Betong dan Sepoetie. Daerah ini pun dipimpin regent Telok Betong. Distrik Sepoetie yang dipimpin seorang pangeran —yang tinggal di Dusun Tarabangie— berbatasan dengan Toelang Bawang, Samangka, Sekampong dan Laut Jawa.
Distrik Toelang Bawang berbatasan dengan Residensi Palembang di sebelah utara, Distrik Sepotie di sebelah selatan dan Laut Jawa di sebelah timur.
Distrik ini dipimpin seorang demang yang tinggal di Dusun Mengala. Di bawahnya terdapat seorang sub-demang yang memimpin Boemi Agong. Sub-demang itu bertempat tinggal di Gebang.
Distrik yang terakhir, Distrik Samangka, berbatasan dengan Residensi Bengkulu di sebelah utara dan baratnya.
Di sebelah selatan, Teluk Samangka menjadi batasnya. Pulau-pulau yang bertebaran di Teluk Samangka termasuk ke dalam wilayahnya.
Di sebelah timur, distrik itu berbatasan dengan Telok Betong, Sekampong dan Sepoetie. Daerah ini dipimpin seorang depati yang bertempat tinggal di Bornei.
Menurut Speck, sebelum kedatangan Belanda, para tetua menjadi pemimpin. Setelah itu, penduduk dusun atau kampung memilih seseorang sebagai pemimpin —yang kemudian diangkat oleh pejabat Hindia-Belanda yang berwenang.
Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin yang dipilih itu didampingi oleh tetua di dusun/kampung masing-masing. Masalah-masalah yang tak dapat diselesaikannya diajukan lagi kepada kepala distrik di tempatnya.
Di Telok Betong dan Samangka, masih ada satuan wilayah marga yang terdiri dari beberapa kampung.
Setiap kampung dipimpin seorang kepala kampung yang berkedudukan di bawah kepala marga. Para kepala marga berada di bawah pimpinan regent Telok Betong atau depati Samangka.
Di Lampung, regent Telok Betong dianggap sebagai pemimpin pribumi tertinggi. Bersama kepala-kepala Distrik lainnya, regent diangkat secara resmi oleh pejabat Hindia-Belanda yang berwenang dan berhak menerima gaji dari Hindia-Belanda.
Seorang demang khusus ditempatkan di Dusun Seringkebow, Distrik Sepoetie, untuk menangani kasus-kasus penyelundupan.
Pada umumnya, pemimpin-pemimpin di Lampung tidak memiliki kekuasaan besar atas warga yang dipimpinnya.
Hukuman yang dijatuhkan atas pelanggaran tidaklah terlalu berat (di mata Belanda) dan dapat digantikan dengan membayar denda. Bahkan, hukuman mati pun dapat digantikan dengan membayar uang bangon.
Untuk kepentingan kegiatan militer, F.G. Steck mengamati, mengumpulkan data dan menilai ciri, karakter, dan kehidupan masyarakat Lampung.
Perlu dicatat, waktu itu pengamatan —penilaian terhadap hasil pengamatan itu— cenderung dilakukan dari sudut pandang kebudayaan Belanda.
Pendekatan relativisme kebudayaan tidak dikenal sama sekali. Sehingga penilaian orang-orang Eropa mengenai suku-suku bangsa di Nusantara terkadang tidak mengenakkan untuk dibaca.
Waktu itu, menurut F.G. Steck lagi, sebagian besar daerah di Lampung belum terjamahkan tangan manusia.
Orang yang datang ke Lampung datang dengan kapal layar dan berlabuh di pantai-pantai yang tak semuanya cocok untuk tempat kapal besar membuang sauh.
Akan tetapi, suatu perjalanan (apakah untuk urusan militer, perdagangan, misi keagamaan, ataupun pelancongan) tidak berhenti di daerah tepi-tepi pantai saja.
Perjalanan ke pedalaman Lampung terutama dilakukan melalui pelayaran di sungai-sungai.
Namun, bagi orang yang tidak mengenal wilayah yang dihadapinya, banyak pula kendala dan bahaya mengancam keselamatan perjalanan.
Sungai-sungai di Lampung bermuara di tiga tempat, yaitu Teluk Semaka, Teluk Lampung dan Laut Jawa.
Sungai-sungai yang bermuara di Teluk Semaka, bersumber dari mata air di di antara Bukit Barisan dan barisan perbukitan mulai dari Gunung Abung.
Sungai yang bermuara di Teluk Lampung bersumber dari mata air di perbukitan sebelah barat Rajabasa dan Lubuk Iti.
Kemudian, sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa bersumber dari mata air sebelah barat dan selatan Gunung Abung dan sebelah timur Gunung Rajabasa.
Berlalu lintas melalui sungai tidak sederhana. Tidak mengenal lingkungan alam setempat akan terjebak kesulitan.
Beberapa sungai biasa mendadak naik pasang, terutama yang berada di dekat sumber mata air asalnya. Pada waktu itu, bahkan jalan-jalan setapak yang ada di dekatnya pun akan terendam air.
Sungai-sungai itu pecah dan beranak berkali-kali; tidak semuanya dapat dilayari. Sungai-sungai kecil terutama digunakan penduduk setempat untuk mengairi lahan pertaniannya.
Beberapa sungai seperti Sungai Semaka memang dapat dilayari bila nakhoda kapal disertai seorang pemandu sungai yang baik, supaya tidak terus-menerus terhambat batang-batang pohon yang tumbang, pulau-pulau terapung dan bebatuan di dasar sungai.
Di daerah Mesuji, mata air sungai itu bersumber di Bukit Matawalu. Tak jauh dari sumbernya, sungai mengalir ke arah timur dibatasi tepian yang curam.
Di daerah Umbul Mesuji, sungainya berbelok ke arah utara dan kemudian menyatu dengan Sungai Batanghari.
Pasang-surut sungai dengan mudah diamati dengan mata telanjang. Sebab, perbedaan permukaannya terkadang mencapai hampir setengah meter.
Sungai ini sudah dapat dilayari kapal-kapal besar mulai dari daerah Umbul Mesuji. Semakin lama, sungai menjadi semakin dalam dan lebar. Tepiannya curam menjadi datar.
Lingkungan di sekitarnya berubah penuh dengan hutan nipah dan kayu api-api. Waktu musim hujan, daerah ini membanjir sampai jauh ke pedalaman.
Waktu itu, daerah ini tak mungkin dijadikan tempat untuk mendarat walaupun bukit-bukit pasir di muaranya dapat dilewati dengan mudah.
Di dekat Umbul Tunggal Jawa, Sungai Mesuji menyatu dengan Sungai Batanghari yang bercabang lagi dengan Sungai Itam dan Sungai Komering.
Sungai-sungai inilah yang dilayari oleh perahu-perahu dari Mesuji menuju Palembang. Pada pertengahan abad ke 19 Masehi, diperlukan waktu 5—8 hari untuk menjalaninya.
Sungai yang tak mungkin dilupakan di Lampung adalah Sungai Tulang Bawang, yang terbesar di seluruh daerah itu.
Sungai ini terbentuk oleh menyatunya air dari empat buah sungai lebih kecil, yakni Sungai Umpu dan Sungai Besai yang menjadi Way Kanan serta Sungai Sungkai dan Sungai Rarem yang menjadi Way Kiri.
Di beberapa tempat di bagian dangkal, hanya perahu kecil dan rakit yang dapat lalu. Umumnya Sungai Tulang Bawang dapat dilayari oleh perahu 2—4 koyang.
Pada waktu musim hujan dan ketika air sedang pasang, perahu dan kapal 10 koyang pun dengan tenang dapat berlayar di atasnya.
Apakah itu koyang? Istilah ini tidak ada lagi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan tak ada dalam kamus bahasa Belanda.
Koyang, satuan berat yang biasa diterapkan pada muatan perahu atau kapal. Satu koyang sama dengan 125 kilogram. Jadi, kapal 10 koyang mampu mengangkut 1.250 kilogram barang.
Bila demikian, sungai yang dapat dilalui kapal 10 koyang harus cukup dalam supaya kapal tidak terdampar di dasarnya.
Menurut perkiraan F.G. Steck, sampai Menggala, sungai itu bahkan cukup dalam untuk dilalui kapal uap milik Hindia Belanda. Kedalaman Sungai Tulang Bawang tidak serta merta aman dilalui kapal kecil maupun besar.
Sungai itu melalui lingkungan alam yang indah di mata orang awam, tetapi berbahaya bagi nakhoda dan pendayung.
Aliran sungai itu tiba-tiba menderas menghantam bebatuan besar dan kemudian mendadak jatuh berbuih-buih sebagai air terjun.
Penduduk yang tinggal di daerah perbukitan di sekitarnya membawa hasil ramuan hutan untuk dijual di Asahan dengan rakit-rakit yang terbuat dari bambu.
Bukan main, F.G. Steck berdecak kagum melihat kepandaian nakhodanya mengemudikan rakit-rakit bermuatan berat itu. Walau perairan yang dilalui berbahaya, hampir tak pernah terjadi kecelakaan.
Suatu hal yang menarik banyaknya mata air panas di Lampung. F.G. Steck menandai tempat-tempat dengan nama “Ilahan”.
Karena di situ ada mata air panas dengan sungai yang bernama sama. Di Kalianda, ada sumber air panas seperti ini.
Di beberapa tempat, seseorang tak mungkin merendam kaki telanjang di air panas, juga tidak di atas bebatuan yang didalam sumber air panas itu.
Sebutir telur yang diletakkan di dalam air akan matang dimasak walau tidak sampai menjadi keras. Penduduk di sekitar Kalianda mandi-mandi dan berendam di sana untuk mengobati berbagai penyakit kulit.
Di antara Dusun Banjarmasin dan Belalau terdapat sumber garam alami. F.G. Steck mencatat hal ini baik-baik. Sebab, garam merupakan komoditas yang sangat mahal waktu itu.
Sumber garam terkenal terdapat di dekat Sungai Umpu. Air sungainya terasa asin payau di lidah. Bebatuan yang muncul di permukaan airnya tampak berwarna keputihan oleh kristal-kristal garam yang melapisinya.
Penduduk daerah itu menggunakan garam untuk membumbui masakan mereka. Itu pun dilakukan F.G. Steck dan rombongannya.
Garam tidak hanya terasa asin, tetapi juga baik untuk mengobati penyakit gondongan, demikian tulis F.G. Steck. (*)
Acuan Pustaka: F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G. Kolff. 1862.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 April 2014.
No comments:
Write commentSiapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.