Sumber Foto: Baranewsaceh |
INDEPHEDIA.com - Kerajaan Tamiang atau Kesultanan Banua Tamiang atau Benua Tunu salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Provinsi Aceh.
Kerajaan Tamiang merupakan kerajaan tertua di Aceh setelah Kesultanan Perlak (Peureulak) yang berkuasa antara tahun 840-1292.
Saat ini, wilayah Kerajaan Tamiang berada di Kabupaten Aceh Tamiang yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2002.
Sebelum ajaran agama Islam masuk ke Tamiang, wilayah ini pada umumnya masih dalam pengaruh Hindu-Buddha.
Hal tersebut ditandai dengan adanya penjelasan tentang Kerajaan Tamiang yang terdapat pada Prasasti Sriwijaya.
Pada masanya, wilayah Kerajaan Tamiang berbatasan dengan Sungai Raya atau Selat Malaka di bagian utara dan Besitang di bagian selatan.
Di bagian timur, wilayah Kerajaan Tamiang berbatasan dengan Selat Malaka dan di bagian barat Gunung Segama (Gunung Bendahara/Wilhelmina Gebergte).
Asal Mula Nama Tamiang
Melansir Wikipedia, nama dari Kerajaan Tamiang pada awalnya diambil dari sebuah kata "Tamiang" yang juga berasal dari kata "te-miyang".
Nama tersebut diambil dari sebuah legenda yang berasal dari wilayah ini yang berarti tidak gatal-gatal atau kebal terhadap miang bambu.
Hal itu juga berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh.
Ketika masih bayi, raja tersebut ditemui dalam rumpun bambu Betong atau betung (istilah Tamiang ”bulooh”).
Raja yang menemukannya ketika itu bernama Tamiang Pehok, ia kemudian mengambil dan membawa bayi tersebut.
Setelah dewasa kemudian ia dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar "Pucook Sulooh Raja Te-Miyang", yang artinya seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong tetapi tidak kena gatal atau kebal dari gatal-gatal.
Data Keberadaan Kerajaan Tamiang
Data-data mengenai keberadaan Kerajaan Tamiang, melansir Acehtamiangkab, antara lain tercatat di Prasasti Sriwijaya yang diterjemahkan oleh Prof. Nilkanta Sastri dalam "The Great Tamralingga (capable of) Strong Action in dangerous Battle" (Moh. Said 1961:36).
Kemudian, data kuno Tiongkok dalam buku "Wee Pei Shih" yang ditata kembali oleh I.V.Mills, 1937, halaman 24 tercatat negeri Kan Pei Chiang (Tamiang) yang berjarak 5 Km (35 Mil Laut) dari Diamond Point (Posri).
Kerajaan Islam Tamiang juga disebutkan dalam The Rushinuddin’s Geographical Notices (1310 Masehi) dan tercatat sebagai "Tumihang" dalam syair 13 buku Nagara Kartagama (M.Yamin, 1946 : 51).
Selain itu, keberadaan kerajaan ini diketahui dari benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang (Penemuan T.Yakob, Meer Muhr dan Penulis Sartono, dkk).
Masa Kejayaan dan Kemunduran Kerajaan Tamiang
Kerajaan Tamiang pernah mencapai puncak kejayaan di bawah pimpinan Raja Muda Sedia yang memerintah antara tahun 1330-1352.
Akhir masa pemerintahan Raja Muda Sedia diwarnai dengan cerita tentang serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang.
Saat kondisi kerajaan kembali pulih, Mangkubumi Muda Sedinu memerintah di sana dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pagar Alam, di sekitar Simpang Jernih.
Setelah Mangkubumi Muda Sedinu (1352–1369) berkuasa, tampuk pemerintahan digantikan oleh Raja Po Malat (1369–1412).
Karena berbagai faktor, sekitar tahun 1500-an Kerajaan Tamiang mengalami berbagai macam kemunduran. Puncak kejayaan Kerajaan Islam Tamiang berakhir pada tahun 1558.
Hal-hal yang menyebabkan kemunduran Kerajaan Tamiang, selain mendapat serangan dari tentara Majapahit di Jawa Timur, wilayah kekuasaan kerajaan ini juga selalu berpindah-pindah.
Di samping itu, kemunduran Kerajaan Islam Tamiang tersebut disebabkan pula kelemahan dari para penguasa dan merosotnya ekonomi kerajaan. (*)
Raja atau Sultan Tamiang
- Sultan Muda Sedia (330–1352)
- Mangkubumi Muda Sedinu (1352–1369)
- Sultan Po Malat (1369–1412)
- Sultan Po Kandis (1454–1490)
- Sultan Po Garang (1490–1528)
- Pendekar Sri Mengkuta (1528–1558)
No comments:
Write commentSiapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.